SAFA' RAHMATTUL HUSNA

PANTUN

Safa' Rahmattul Husna

2411333014


Pengertian

Pantun adalah salah satu bentuk dari puisi lama yang terdiri dari 4 baris tiap baitnya dan 8-12 suku kata tiap barisnya. Pantun memiliki sajak a-b-a-b. Dua baris awal disebut sampiran dan dua baris terakhir adalah isi. Pantun memiliki makna yang beragam, seperti nasihat, pengajaran, ungkapan perasaan, hiburan, budaya, religi, dan teka-teki.


Contoh

(1)

Di ujung hilir ada delta

Menyangkut sebuah batang

Jangan sembarang membuang kaca

Bisa saja melukai orang 


(2)

Gas elpiji bentuknya tabung

Ibu saya menyimpan dua

Rajin-rajinlah menabung

Supaya punya bekal di hari tua


PUISI MODERN


Kembang Jalang Pinggir Jalan


Mencari secercah cahaya

Terimpit batu di sekitarnya

Air yang menjadi ibu tak membelai

Mentari yang menjadi ayah menyengat


Yang berlalu-lalang abai

Tiada sudi tuk sekadar melihat

Tangkai mungilnya patah

Tiada lebah yang singgah


Apa indahnya kembang jalang pinggiran jalan?


Tiada estetika pada kelopaknya yang rapuh

Seketika runtuh dihantam badai bergemuruh

Jatuh dari tumpuan

Habis dipijak tuan dan puan


Tak bolehkah ia dicumbu semesra bunga taman kota? 



Nama Sebuah Jiwa


Terbalut selimut hijau dalam dekap mamaknya

Berkedip mata mungil jernih minta dimanja

Kala itu masih murni akal serta jiwa

Ringan tersenyum tanpa dosa


Siapa namanya? 


Terkekeh ria tanpa beban dunia

Tanpa terpikir esok makan apa, biaya keluarga, cukupkah tidurnya

Dihadapkan badan mungil itu menatap kaca

Mamaknya tertawa mengajak bercanda


Siapa dirinya? 


Entahlah mamak, aku tak tahu juga

Dua dekade gadis itu hidup, harusnya sudah dewasa

Setiap kali menatap kaca, hanya kosong yang dirasa

Mencari jati diri yang entah tersesat di mana


Di mana jiwanya? 


Entahlah bapak, aku tak tahu juga

Mungkin ia singgah dalam memori masa belia

Merajuk tak ingin beranjak, tak ingin tua

Mungkin ia belum siap, polosnya dimakan usia


CERPEN

Terima Kasih Santa

"Aku ingin memiliki seorang kekasih dan ibu berhenti mengkhawatirkan aku." Itulah yang kutulis dalam lembar permohonan kepada Santa di sebuah pusat perbelanjaan. Cukup konyol bagi publik jika seorang pemuda berusia enam belas tahun masih menulis permohonan kepada Santa. Nyatanya, setiap kotak kado yang disusun di bawah pohon Natal bukan hadiah yang dibawa Santa Claus dengan kereta terbang yang ditarik para rusa, melainkan barang yang dibeli di pusat perbelanjaan dengan kereta troli dan diletakkan oleh para orang tua pada tengah malam. 


Aku tak berbohong jika kukatakan bahwa ibu akan menuruti apa pun yang kumau bahkan jika tempat tinggal kami harus disita bank karena hutang yang tidak bisa dibayar walau hingga tujuh turunan. Asalkan aku tak pernah meninggalkan ibu lebih dari dua puluh empat jam. Yang berarti, harapanku tahun ini hanya menjadi pemicu kemarahan ibu dan ia akan mengunciku di rumah selama satu pekan penuh. Jika terbesit dalam benak kalian kenapa aku begitu yakin hal tersebut akan terjadi, karena sesungguhnya kejadian itu telah kualami saat aku meminta izin untuk mengikuti kemah pramuka di sekolah tahun lalu. 


Ia menjerit, berteriak dalam tangisnya, "Apakah kamu sudah tidak mencintai ibu dan akan pergi seperti ayahmu dulu? Wanita mana yang menggodamu hingga ibu tak lagi pantas untukmu?! Lupakah kamu bahwa ibu tak bisa hidup tanpamu? Jangan tinggalkan ibu, Nak …" perlahan kedua telapaknya yang memegang erat pipiku melemah menjalar ke pundakku lalu memegang erat kedua telapak tanganku saat ia bersimpuh.


Padahal sedari dulu aku disekolahkan di sekolah laki-laki, mana mungkin aku memiliki kenalan wanita. Bahkan jika dari dunia maya pun, aku berbagi sandi dengan ibu agar ia dapat memantau apa-apa yang kulakukan di jejaring sosial. Hanya di tempat seperti inilah aku bisa menuliskan keinginan semacam itu secara lepas. Tapi ajaibnya, setiap tahun aku menuliskan permohonan di tempat ini, hal tersebut akan segera terkabul. Entah karena ibu yang selalu melihat riwayat pencarianku di internet atau ada saja malaikat yang membaca pesanku. 


Sejauh yang kuingat, ibu sudah mulai bersikap begitu sejak aku berusia enam. Malam Natal juga saat ayah pergi, mungkin, untuk selamanya. Ayah belum meregang nyawa, namun bagiku ayah sudah tiada. Yang tewas hari itu adalah kewarasan ibu. Mobil yang bergoyang riang, ibu yang sedang hamil memecah kaca mobil dengan tongkat bisbol, ayah menampar ibu, ibu bersimpuh, seorang wanita dengan gincu yang tak lagi rapi. Ayah pergi, dan tak pernah kembali. 


Anak yang dikandung ibu adalah adik perempuan yang tak pernah kumiliki. Sehari setelah kelahirannya, adikku meninggal. Ibu tak pernah menangisi kematiannya, saat aku bersedih karena aku tak bisa menjadi seorang kakak, ibu mengelus kepalaku dan berkata, “Tak apa Nak, masih ada ibu di sisimu. Mulai sekarang ibu bisa mencurahkan kasih sayang ibu kepadamu sepenuhnya, dan begitu juga kamu, kamu bisa menjadi milik ibu sepenuhnya.”


Biasanya, lepas petang seperti ini ibu sudah risau meneleponku, bertanya di mana aku, dengan siapa aku pergi, berapa lama lagi aku pulang. Tapi malam ini agaknya berbeda, entah karena ibu cukup sabar menunggu saat kukatakan aku akan pergi membeli bahan-bahan untuk membuat kue jahe bersamanya, atau karena sejak beberapa waktu yang lalu ibu memberiku alat pelacak agar ia bisa tahu ke mana aku pergi. Padahal, aku selalu memberi tahu ibu ke mana aku akan pergi dan tak pernah berbohong padanya. Kupikir, uang untuk membeli alat pelacak itu lebih baik digunakan unruk membeli gagang pintu baru saja yang entah- hari ini berbau begitu anyir yang mungkin disebabkan oleh karat dimakan usia. 


Biasanya, segera setelah membuka pintu apartemen ibu akan memelukku sebagai sambutan. Namun, malam ini, balasan dari ucapan, "Aku pulang" pun tak bergema di lorong apartemen kecil kami. Jam masih menunjukkan pukul tujuh malam tetapi semua lampu telah padam. Saat mencari sakelar lampu dalam temaram, aku baru teringat satu hal; ibu pernah berkata dalam kecamuk amarahnya, bahwa ia tak akan membiarkanku memiliki seorang pacar bahkan jika itu berarti ibu harus mati.


Aku mendapati siluet seorang wanita yang secara samar mengenakan pakaian merah saat bergegas ke dapur. Sejenak menghela nafas lega, "Kenapa ibu tiba-tiba memberiku kejutan seperti ini? Aku sudah enam belas. Mana mungkin percaya Santa Claus …" aku tertawa kecil sembari menekan sakelar lampu, yang pada detik berikutnya terkejut karena siluet wanita berbaju merah yang kulihat sebelumnya hilang bersama datangnya cahaya. Di saat itulah aku mendapati ibu sudah terduduk terikat pada kursi makan, dengan mata dan mulut terikat kain putih yang ternoda semburan darah dari leher yang tergorok.


“Terima kasih Santa.” Ini adalah kado natal terbaik sepanjang masa. 

Comments

Popular posts from this blog

YUDI RAHMAT SYAHPUTRA

M. FALIH I'TISHAM KHULUQI

KAISAR ANANDA GINTING