SERENADE TRESORA RIYADI
PARIKAN
Serenade Tresora Riyadi
2411334014
Pengertian
Parikan adalah bentuk puisi tradisional dalam bahasa Jawa yang terdiri dari dua baris dengan rima yang terikat. Biasanya, parikan memiliki tema tentang kehidupan, cinta, atau kebijaksanaan, dan sering digunakan dalam berbagai acara budaya, seperti pertunjukan wayang atau perayaan. Setiap baris biasanya terdiri dari 8 hingga 12 suku kata, dan parikan sering kali mengandung makna yang dalam serta pesan moral.
Fungsi parikan juga sebagai ungkapan perasaan dan media komunikasi yang menarik. Parikan dapat diucapkan dengan nada dan intonasi yang khas, sehingga menambah keindahan saat disampaikan.
Contoh
(1)
Matahari srengenge, nyinari donya,
Tresna kowe, marakna ati iki gembira.
(Matahari bersinar, menerangi dunia,
Cintamu, membuat hati ini bahagia.)
(2)
Sawah ijo subur, tanduran bakal makmur,
Nglakoni urip, kudu sabar ora ngeluhur.
(Sawah hijau subur, tanaman akan makmur,
Menjalani hidup, harus sabar dan tak angkuh.)
(3)
Bunga lirang mekak, ngundang rasa suci,
Tresna tulus iki, ora bakal pudar ing ati.
(Bunga lirang mekar, mengundang rasa suci,
Cinta tulus ini, tak akan pudar di hati.)
PUISI MODERN
Si Buah Mimpi
Di dalam dunia mimpi yang samar…
Engkau datang tanpa pernah memberi isyarat…
Setiap malam…
Kau hadir membawa cinta tanpa suara…
Namun terasa begitu nyata dihati…
Diam diam, kau membangunkan hasrat…
Yang membuat diriku ingin terus terjaga…
Takut kehilangan jejakmu diantara bayang malam…
Namun aku sadar…
Kau hanyalah illusi yang tak bisa ku genggam…
Seperti angin yang lembut menyentuh wajah…
Kau selalu datang…
Tetapi tidak benar benar ada…
Meski aku tahu, kau tak kan jadi nyata…
Hatiku terus berharap…
Seolah cinta ini bisa melampaui…
Batas mimpi…
Pelukan Mu
Tubuhmu yang tegap menjulang…
Seakan kau sang penompang langit…
Kau selalu ada, siap menahanku…
Saat ku terjatuh dalam kegelapan…
Setiap sentuhanmu begitu hangat…
Menyusup kedalam jiwaku dengan kelembutan…
Lembut, penuh kasih, seolah tubuhku…
Adalah harta paling rapuh yang kau jaga dengan cinta…
Dalam pelukkanmu, waktu seakan berhenti…
Setiap detiknya menanam rindu yang tak terucap…
Menggantung diantara kita…
Menunggu untuk mekar menjadi cinta abadi…
Di Bawah Langit yang Sama
Langit sore itu, lembayung yang membias di ufuk barat, seolah menyelimuti kita dalam jubah keemasan yang hangat. Di tepian bukit kecil yang selalu kita datangi setiap akhir pekan, aku bisa merasakan embusan angin yang membawa aroma rerumputan. Kau duduk di sampingku, menghadap cakrawala yang perlahan-lahan berubah warna. Kita tak perlu banyak berkata-kata; kebersamaan ini cukup berisik dalam diamnya, seakan setiap tarikan napas kita adalah percakapan yang tak terlihat, yang hanya bisa dipahami oleh hati.
“Apa yang kau pikirkan saat ini?” tanyaku, memecah keheningan, meski aku tahu jawabannya mungkin tak akan pernah datang dalam bentuk kata-kata. Kau menoleh sedikit, tersenyum, lalu menatap kembali langit yang seolah tak pernah bosan menghibur kita.
“Aku memikirkan betapa anehnya waktu,” katamu akhirnya, suaramu lembut, seperti bisikan angin di antara dedaunan. “Kita duduk di sini, menikmati senja bersama, seolah waktu berhenti. Namun di sisi lain, waktu terus berlalu, tak pernah menunggu kita. Ia begitu kejam, namun juga begitu indah, karena dalam setiap detiknya, ia memberi kita kesempatan untuk bersama.”
Aku tersenyum mendengarnya. Kata-katamu selalu menyentuh sesuatu yang dalam di hatiku, seperti tangan yang tak terlihat namun begitu nyata. Kebersamaan ini, meski tak selalu sempurna, adalah sesuatu yang selalu kita syukuri. Mungkin karena kita tahu, kebahagiaan tidak datang dalam bentuk yang besar, melainkan dalam serpihan-serpihan kecil yang terkumpul setiap hari.
Seperti hari ini, saat kita berdua duduk di atas rumput, dengan hanya angin dan langit sebagai saksi, segalanya terasa cukup. Tidak ada perluasan makna, tidak ada tujuan besar yang harus dicapai. Hanya kita, dan kebersamaan yang menjalin hati kita dengan kehangatan.
“Langit selalu berubah, tapi rasanya kita selalu di bawah langit yang sama,” lanjutmu lagi, kali ini suaramu mengandung sedikit kekaguman. Aku menoleh ke arahmu, melihat sinar keemasan senja memantul di wajahmu, memberikan kesan bahwa kau adalah bagian dari alam yang indah ini. “Di manapun kita berada, kita akan selalu berbagi langit yang sama.”
Kata-katamu menggema di dalam pikiranku. Langit yang sama. Ya, di bawah langit yang tak pernah berubah, kita telah melalui begitu banyak hal bersama. Dari tawa hingga air mata, dari perjalanan panjang yang melelahkan hingga malam-malam yang dipenuhi dengan percakapan hangat di balik jendela rumah kecil kita. Kebersamaan ini adalah rumah, tempat kita selalu ingin kembali, meski dunia di luar begitu luas dan penuh dengan kemungkinan.
Aku teringat saat pertama kali kita datang ke tempat ini. Hanya sebidang tanah kosong di tepi hutan, bukit kecil yang biasa-biasa saja. Namun sejak saat itu, kita menjadikannya tempat istimewa, karena setiap jejak kaki kita meninggalkan cerita di tanahnya. Kita membangun kenangan di sini, dari hal-hal kecil yang sering terabaikan oleh orang lain. Hanya dengan duduk bersama, berbagi keheningan, dan menatap langit yang perlahan-lahan berganti warna, kita sudah merasa dunia ini cukup luas untuk kita tinggali.
Terkadang, aku merasa bahwa kebersamaan ini seperti pohon. Akarnya tertanam begitu dalam di tanah kenangan, sementara cabang-cabangnya menjulur ke segala arah, membawa cerita-cerita yang kita rangkai bersama. Dan buah dari pohon itu adalah momen-momen kecil yang manis, yang selalu membuat kita tersenyum saat mengingatnya.
Malam pun mulai merangkak perlahan. Bintang-bintang satu per satu muncul, menghiasi langit gelap yang seolah menjadi kanvas bagi cahaya kecil mereka. Di bawah cahaya bintang itu, kita tetap duduk bersama, tak ada urgensi untuk pulang. Di sini, waktu seakan mengerti bahwa kita butuh ruang untuk meresapi kebersamaan ini lebih lama. Dalam kesederhanaan malam, kita adalah dua jiwa yang saling menemukan kehangatan, meski tanpa api unggun, meski tanpa suara.
Kau menatapku, matamu bercahaya seperti bintang-bintang di langit. “Aku tak tahu berapa lama lagi kita bisa melakukan ini,” katamu pelan, “tapi aku ingin menikmati setiap detiknya.”
Aku mengangguk, merasakan hal yang sama. Kebersamaan ini adalah sebuah anugerah, sesuatu yang tak bisa kita prediksi akan bertahan berapa lama. Namun di setiap detiknya, kita selalu memilih untuk bersyukur. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi esok, namun kita tahu bahwa hari ini adalah milik kita, dan itu sudah cukup.
Malam itu, kita pulang dengan hati yang penuh. Tidak ada kata-kata besar atau janji-janji megah, hanya kesadaran bahwa kebersamaan, dalam bentuk apa pun, adalah kekayaan yang tak terhingga. Langit di atas kita mungkin akan berubah setiap hari, namun selama kita saling berbagi, kita akan selalu di bawah langit yang sama, menjalin cerita demi cerita yang akan kita kenang selamanya.
Dan di situlah kebersamaan menemukan maknanya: di antara momen-momen kecil, di bawah langit yang terus berganti, tapi selalu mengingatkan kita pada satu hal—kita pernah bersama, dan itu sudah cukup untuk membuat hati kita tetap hangat.
Comments
Post a Comment